27 Okt 2021

Nostalgia Jakarta Tempo Dulu di Cikini

Oleh:Siti Sarah Sofyaningrat

Editor:Aditya Gagat Hanggara

27 Okt 2021

Kereta jurusan Jakarta Kota yang saya naiki tiba pukul 9.30 pagi di Stasiun Cikini. Hari itu tanggal merah, jadi saya berniat untuk jalan-jalan sejenak di kawasan Cikini yang katanya telah dipercantik itu. Sudah lama tidak mampir ke kawasan Cikini dengan pertigaan dekat stasiunnya yang dulu tak teratur, kabel-kabel listrik semrawut sepanjang jalan, dan trotoar yang terakhir saya lihat masih dalam pembangunan waktu itu. Maklum, selama pandemi, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, seperti kebanyakan orang, untuk menghindari penyebaran Covid-19. Maka, ketika semakin banyak orang divaksinasi Covid-19 —termasuk saya sendiri—, angka kasus kian turun, dan pembatasan sosial sudah melonggar yang ditandai dengan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) menjadi level 2, saya memberanikan diri untuk menyapa Cikini kembali. Kabar trotoar yang diperlebar dan diperbaiki di kawasan Cikini membuat saya bertanya-tanya, apakah hal itu berpengaruh besar bagi saya, si pengguna transportasi umum dan pejalan kaki yang sudah terbiasa dengan Jakarta sebelum pemolesan, atau semua itu hanya akan menjadi spot “instagrammable”?

Kembali ke Jakarta Tempo Dulu

Turun dari eskalator Stasiun Cikini menuju pintu keluar stasiun, langit biru Cikini menyambut dengan keindahannya. Di bawah langit biru itu, saya bisa melihat gedung Menteng Plaza dan Cikini Gold Center yang terkenal itu. Jalan raya terlihat masih lengang. Selain kendaraan pribadi, saya melihat bajaj dan angkutan umum Mikrotrans yang melewati jalan Raya Cikini tanpa terburu-buru mencari penumpang. Saya juga dapat melihat langsung trotoar di seberang sana sudah tertata. Setelah keluar dari kawasan stasiun, saya pun menyeberang ke trotoar.. 

Angkutan Umum Mikrotrans melintasi Jalan Cikini Raya

Sesampai di trotoar seberang, saya menemukan “gerbang” Jakarta tempo dulu lewat gerobak roti Tan Ek Tjoan. Logo perusahaan roti dan kue yang lahir sejak 1921 itu masih bernuansa jadul, sehingga menarik siapa saja yang ingin kembali ke masa lampau. Namun, pabrik dan kedai roti Tan Ek Tjoan telah berdiri di Jalan Cikini Raya pada 1955, kini sudah tutup dan pindah. Syukurlah gerobak roti Tan Ek Tjoan masih setia hadir di sini, menemani perjalanan saya ke masa lalu hari itu. 

Gerobak roti Tan Ek Tjoan


Menyusuri Jalan Cikini Raya melalui trotoar yang lebar tentu memberi kenyamanan bagi saya, terlebih dilengkapi dengan penunjuk arah, tempat duduk, dan fasilitas terbaru lainnya. Sebagai pejalan kaki, saya merasa dimanjakan dan diutamakan. Jika menemukan tempat duduk yang teduh, saya sesekali duduk dan berfoto. 

Trotoar Jalan Cikini Raya


Berbagai bangunan bergaya khas zaman kolonial Belanda saya temui di sepanjang jalan. Di antara bangunan tempo dulu itu, saya melihat rumah Achmad Soebarjo, Menteri Luar Negeri pertama Indonesia. Selain sebagai kediaman, rumah itu pernah menjadi kantor Kementerian Luar Negeri selama Agustus hingga Oktober 1945. Tak jauh dari rumah itu, terlihat juga Yayasan Perguruan Cikini yang berdiri sejak 1 Agustus 1942.

Rumah Achmad Soebardjo


Matahari kian tinggi saat saya melewati SMPN 1 Jakarta yang merupakan bekas bangunan sekolah pertama pemerintah Hindia Belanda untuk para pribumi di Batavia saat itu, yaitu Eerste School D.


Tepat ketika mulai lelah dan kepanasan, saya menemukan plang Ice Cream Tjanang d/h Tjan Njan yang sudah ada sejak 1951. Meski begitu, tidak ada kedai es krim yang tampak. Yang terlihat hanya Hotel Cikini. Saya pun masuk ke dalam hotel dan menanyakan es krim Tjanang kepada resepsionis. Ia lalu mengantar saya ke kotak pendingin dan menanyakan es krim mana yang ingin saya beli. Karena ingin mencoba banyak rasa, saya memilih rasa kombinasi es krim coklat, vanila, kopyor, dan alpukat. Saya menikmati es krim sambil melihat-lihat foto kedai es krim Tjanang tempo dulu. Sayang sekali kedai itu sudah tidak ada. Namun, rasa dan tekstur es krim yang unik berhasil mengantarkan saya ke Cikini tempo dulu. 

Ice Cream Tjanang


Titik terakhir perjalanan saya adalah Taman Ismail Marzuki (TIM) yang masih dalam pemugaran, sehingga saya tidak bisa masuk ke dalamnya. Meski belum bisa masuk, saya dapat melihat area depan TIM yang luas dan tertata. Tidak sabar rasanya menunggu revitalisasi TIM selesai. Berbagai jejak masa lalu di Jalan Raya Cikini dan kehadiran TIM menjadikan wilayah Cikini sebagai spot sejarah dan budaya yang cocok untuk wisata perkotaan. Sebenarnya, masih banyak titik bersejarah di Cikini. Jika kamu ingin mengetahui bagaimana rasanya perjalanan sepanjang Jalan Raya Cikini dari arah perempatan Jalan Cut Mutia, kamu bisa membacanya di sini

Sebenarnya saya masih ingin melanjutkan perjalanan sampai ke Gedung Joang ‘45 di Jalan Menteng Raya atau menyusuri Jalan Raden Saleh yang tak kalah banyak kisah sejarahnya. Tapi kaki saya sudah kecapekan. Untuk perjalanan bersejarah tersebut, bagi siapapun yang tertarik dan penasaran, perlu mampir ke Cikini dulu, dan melihat berbagai titik bersejarah itu secara langsung. Tentu saja dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat, ya!

Wajah baru Taman Ismail Marzuki (TIM) setelah direvitalisasi

Memoles Cikini, Memoles Ingatan

Pertanyaan yang menggantung di kepala saya tentang apakah trotoar yang sudah dipercantik dan diperlebar itu berpengaruh besar bagi saya, kini sudah terjawab. Dengan pasti saya katakan: ya, tentu saja! 

Berkat trotoar yang nyaman dan lebar, saya merasa sebagai tokoh spesial perjalanan sejarah. Trotoar cantik tanpa kabel-kabel listrik menjuntai yang kini sudah tertanam di bawah tanah, ternyata tidak hanya menjadikan Cikini sebagai titik “instagramable” saja. Namun juga menonjolkan bangunan-bangunan bersejarah di sepanjang jalan, sehingga membuat saya seolah melalui lorong masa lampau. Memoles Cikini menjadi semakin cantik, ternyata memoles pula ingatan saya tentang sejarah dan perjalanan bangsa yang semakin dewasa.

Penulis dan Editor

Artikel Smart Living Lainnya

Mau berkebun di Jakarta? Bisa! Dengan urban farming, berkebun menjadi mudah, sekaligus memberikan manfaat lain. Bahas di sini, ya!

Bulan bahasa jadi momen kita mengeksplorasi kekayaan bahasa dan sastra. Beberapa inovasi di bidang bahasa milik di Jakarta ini bisa kamu coba.

Pelayanan kesehatan gratis mudah diakses di Jakarta. Yuk, simak apa saja jenis pelayanan yang bisa dimanfaatkan!

Semua orang bisa mengikuti konsultasi psikologi, termasuk kamu. Dengan menggunakan layanannya, kamu bisa sehat secara mental. Yuk, bahas di sini!

CCTV Jakarta bisa dimanfaatkan untuk memantau hujan dan lalu lintas. Cari tahu cara aksesnya di sini.

Hati-hati dalam menggunakan listrik di rumah! Langkah-langkah ini perlu kamu ketahui untuk mencegah kebakaran.