15 Agt 2024

Napak Tilas Kemerdekaan dari Tempat Bersejarah di Jakarta

Oleh:Amira Sofa

Editor:Ramdan Malik Batubara, Aditya Gagat Hanggara

15 Agt 2024

Hari Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia sudah di depan mata. Setiap tahun, momen ini dirayakan dengan meriah. Sejauh memori dapat kugali, sewaktu kecil aku senang tiap mendekati Hari Kemerdekaan. Sebab, gang rumahku akan dihiasi dengan ornamen-ornamen merah putih dan aku bisa ikut berbagai lomba, dari balap karung, bakiak, hingga makan kerupuk. Beranjak dewasa, aku mulai menyadari bahwa Hari Kemerdekaan lebih dari sekadar seremoni tahunan.  Melainkan cerminan perjalanan panjang yang dilalui bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.

Supaya dapat lebih memahami dan memaknai Hari Kemerdekaan secara mendalam, aku putuskan untuk melihat momen kemerdekaan dari tiga perspektif: sebelum, saat, dan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Salah satu cara paling mudah mengingat aku tinggal di Jakarta, adalah menapak tilas proklamasi ke tiga tempat bersejarah, yakni Gedung Joang ‘45, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan Taman Proklamasi. 

Napak Tilas Kemerdekaan dari Tempat Bersejarah di Jakarta

Gedung Joang ‘45

Berbekal rasa ingin tahu, aku mengunjungi Gedung Joang ‘45 yang berlokasi di Jalan Menteng Raya Nomor 31. Gedung ini merupakan museum yang dikelola oleh Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta. Kini, ia memang menjadi museum yang merepresentasikan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun dahulu, Gedung Joang ‘45 ini menjadi saksi perjuangan panjang kemerdekaan Indonesia.

Saat pertama sampai di Gedung Joang ‘45, aku langsung membeli tiket. Untuk orang dewasa, tiket masuk museum ini 5.000 rupiah. Kemudian, aku diberi brosur mengenai Gedung Joang ‘45 dan dipersilakan menjelajahi museum. Pada tengah beranda, terdapat patung dwitunggal Bapak Proklamasi, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta  Di bagian kiri beranda, tercantum penjelasan mengenai Gedung Joang ‘45 beserta visinya sebagai museum yang representatif tentang sejarah perjuangan kemerdekaan yang mengeksplorasi sejarah perkembangan kota, budaya, masyarakat, politik, serta menjadi kebanggaan warga Jakarta dan Indonesia.

Di bagian kiri beranda, terdapat tanda pemugaran museum, patung H. R. Rasuna Said dan tanda pengesahannya sebagai pahlawan nasional, serta sajak Seliguri yang diciptakan Exan Zen untuk H. R. Rasuna Said. Bagian kiri beranda yang didedikasikan untuk pahlawan perempuan turut memuat cetakan tangan pahlawan perempuan nasional Indonesia dengan foto, di antaranya Raden Ajeng Kartini, Tjoet Nja’ Dhien, serta Raden Dewi Sartika. 

Cetakan Tangan Pahlawan Nasional Perempuan dari Tempat Bersejarah Geduang Joang '45

Peran Gedung Joang ‘45 dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan 

Memasuki gedung, aku disambut dengan relief tokoh-tokoh Menteng 31, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta. Kemudian, masuklah aku ke ruang pertama dari museum ini, Ruang Pendahuluan Perjuangan. Di sini, terdapat papan yang menampilkan profil para pemuda penggerak kemerdekaan hingga sejarah Gedung Joang ‘45. 

Dari situlah aku mengetahui bahwa pada 1930-an, daerah Menteng dimiliki oleh orang Arab dan kemudian dibeli oleh pemerintah Hinda-Belanda untuk dijadikan tempat tinggal. Nama Menteng sendiri dipilih karena daerah ini merupakan hutan yang banyak ditumbuhi pohon menteng. Perkembangan perdagangan di Batavia, khususnya di daerah Menteng, akhirnya memicu L. C. Schomper untuk membuka Hotel Schomper di Jalan Menteng 31. Hotel inilah yang menjadi cikal bakal Gedung Joang ‘45. Hotel megah ini terdiri dari lima kamar di sayap kiri, delapan kamar besar dengan kamar mandi di sayap kanan, ruang makan, dapur, gudang, serta tiga kamar untuk juru masak. 

Beralih ke masa pendudukan Jepang, Hotel Schomper dikuasai oleh Sendenbu atau barisan propaganda Jepang. Pada Juli 1942, hotel ini dialihfungsikan sebagai asrama Angkatan Baru Indonesia, markas pemuda-pemuda radikal yang ingin merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di asrama ini, para pemuda mendapatkan pendidikan politik kebangsaan oleh beberapa tokoh pergerakan  nasional, seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Soenario, Mr. Ahmad Soebardjo, M. Z. Djambek, Mr. Dayoh, Dr. Muwardi, Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, dan Mr. Amir Sjarifoeddin. Terdapat pula tenaga pengajar dari pihak Jepang, yaitu Prof. Nakatani, H. Shimizu, serta Prof. Bekki. 

Dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, gedung Menteng 31 dipergunakan oleh para pemuda sebagai pusat merancang aksi. Salah satunya rencana membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, untuk mendesak mereka segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, Gedung Menteng 31 yang waktu itu diduduki Jawa Hokokai direbut kembali oleh para pemuda yang telah bergabung dalam Komite van Aksi Revolusi Proklamasi. Gedung Menteng 31 kemudian menjadi tempat Komite van Aksi untuk merancang aksi dalam mempertahankan kemerdekaan. Salah satunya untuk mendesak pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) serta menjadikan Pembela Tanah Air (Peta) dan Heiho sebagai Tentara Rakyat Indonesia (TRI).

Namun, setelah Peta dibubarkan, Komite van Aksi membentuk kekuatan pemuda bersenjata yang dipimpin oleh Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Menteng 31. API kemudian bergabung dalam organisasi Laskar Rakjat Djakarta Raja yang dibentuk di belakang gedung Menteng 31. Setelah Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyatakan Jakarta sebagai Kota Diplomasi pada 11 November 1945, Laskar Rakjat Djakarta Raja beserta pemuda-pemuda Menteng 31 memindahkan markasnya dari Menteng 31 ke Jatinegara, lalu Bekasi, Karawang, dan Depok. Adapun para pemuda anggota Komite van Aksi ialah Sukarni, Chaerul Saleh, A. M. Hanafi, Wikana, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Armunanto, Maruto Nitimihardjo Kusnaeni, serta Djohar Nur. Profil beberapa dari mereka terpajang di ruang Pendahuluan Perjuangan di Gedung Joang ‘45 dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

Menengok Sisi Lain Kemerdekaan

Ruang kedua yang kumasuki di Gedung Joang ‘45 adalah Ruang Perjuangan Fisik dan Diplomasi. Di sini, terdapat banyak koleksi, tapi yang paling membuat aku terkesan adalah meja dan kursi kerja asli milik Bung Hatta. Meski sudah tua, menurut pandanganku, cukup kokoh dan terjaga rapi. Di dinding tepat di atas kursi Bung Hatta, ada bingkai foto yang mengutip tulisan beliau. “... satu bangsa dapat mencapai kebesaran dan nasib baik, kalau rakyat pada lapisan yang lebar di bawah mempunyai kemauan dan kegembiraan.” Di ruangan yang sama pula, terdapat koleksi tanda kehormatan dr. H. Soeharto yang merupakan dokter pribadi Bung Karno, mini diorama upacara setelah pembacaan teks proklamasi, hingga mesin jahit yang dipakai Fatmawati untuk menjahit bendera merah putih.

Di dua ruang yang sudah kumasuki, kukira aku sudah sangat terkesan. Tetapi, di ruangan ketiga, aku lebih terkesan lagi. Setelah sepuluh tahun lamanya meninggalkan bangku sekolah dan jarang membaca sejarah, banyak hal yang luput dari ingatanku. Koleksi-koleksi di ruang ketiga ini seakan mengingatkanku lagi soal itu. Di sebelah kiri pintu ruang ketiga, terdapat foto para pemuda yang mengangkat tandu. Di situlah Jenderal Soedirman yang memimpin front pertempuran pegunungan Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dari atas tandu, karena sakit paru-paru akut yang dideritanya. Dua tahun sesudah perang tersebut, Jenderal Soedirman wafat.

Lewat koleksi dan narasinya, ruang yang sama pun  mengingatkan kita kembali terhadap peristiwa-peristiwa lain, seperti Front Jakarta Timur, Perang Gerilya, Perundingan Linggarjati, Penandatanganan Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, Gencatan Senjata Pasca-Persetujuan Renville, hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Koleksi yang paling menarik perhatianku di ruangan ini ialah seragam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Dari ukuran bajunya yang kecil, dapat dibayangkan bagaimana pelajar yang masih sangat muda pada zaman itu harus ikut perang gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Foto Jenderal Soedirman di Tempat Bersejarah Gedung Joang '45
Seragam TRIP di Tempat Bersejarah Gedung Joang '45

Ruangan berikutnya, yakni Ruang Masa Jepang menawarkan koleksi semasa pendudukan Jepang. Diceritakan pula melalui narasi ruangan ini bagaimana Jepang dengan propagandanya berusaha meyakinkan bangsa Indonesia agar mau membantu Jepang dengan menciptakan mitos “saudara tua Indonesia” dalam Peperangan Asia Timur Raya, dan berakhir menjadikan rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja sukarela atau romusha. Padahal trauma dan kenangan pahit selama penjajahan Belanda masih dirasakan rakyat. 

Di ruangan ini pula, aku melihat berbagai koleksi menarik, seperti ilustrasi perobekan bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru menjadi bendara merah putih di Hotel Yamato, Surabaya, uang 10 rupiah yang diterbitkan pemerintah kolonial Jepang, hingga kain bagor yang digunakan masyarakat menengah ke bawah pada zaman kolonial Jepang. 

Ruangan berikutnya yakni Ruang Seputar Proklamasi. Ruangan ini menceritakan peristiwa Rengasdengklok, penyusunan naskah proklamasi, hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia. Menariknya lagi, peristiwa-peristiwa penting dalam proklamasi, seperti Rapat Rengasdengklok, perumusan teks proklamasi, apel pemuda Menteng 31, pidato Bung Karno di Lapangan Ikada satu bulan setelah Kemerdekaan Indonesia, rapat pembentukan API, hingga Laskar Wanita Indonesia (Laswi) yang menolong korban perang, dituangkan dalam maket. Dengan demikian, aku dapat merasakan intensitas suasana pada saat peristiwa-peristiwa tersebut terjadi. 

Diorama di Tempat Bersejarah Gedung Joang '45
Diorama di Tempat Bersejarah Gedung Joang '45
Diorama di Tempat Bersejarah Gedung Joang '45

Ruang setelahnya menampilkan narasi dan foto-foto dari upaya mempertahankan kemerdekaan lainnya. Sebut saja Pertempuran Surabaya, Peristiwa Bandung Lautan Api, Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat, dan Agresi Militer Belanda Pertama. Pada ruangan setelahnya, yaitu Ruang Penyatuan Masa Kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS), terdapat bacaan mengenai kronologi menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian, di Ruang Perjuangan Menuju NKRI, terdapat koleksi kain pejuang Laskar Putri dan baju Laskar Putri Solo, Palang Merah, serta Laskar Putri Indonesia. Ruang terakhir yang aku kunjungi adalah Ruang Galeri atau Interaktif. Di ruangan ini, pengunjung bisa menikmati pengalaman audio visual dengan menonton film bersejarah. Kegiatan ini tak hanya memberikan pengetahuan bagi pengunjung, tapi juga membuat Gedung Joang ‘45 lebih atraktif. 

Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Setelah lebih memahami perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, aku mencari tahu proses perumusan naskah proklamasi yang menandakan kemerdekaan Indonesia. Museum Perumusan Naskah Proklamasi menjadi tempat kedua yang kukunjungi. Terletak di Jalan Imam Bonjol 1, Menteng, Museum Perumusan Naskah Proklamasi mulanya merupakan rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hinda Belanda pada masa Perang Pasifik. Di rumah Laksamana Maeda inilah, naskah proklamasi Indonesia dirumuskan. 

Saat pertama memasuki Museum Perumusan Naskah Proklamasi, aku disambut dengan dua petugas. Setelah mendaftar, aku mengeksplor ruangan-ruangan yang ada. Menjelajahi Museum Perumusan Naskah Proklamasi bak didongengi tentang kemerdekaan Indonesia secara runut. Dimulai dari ruang tamu di sebelah kiri pintu masuk museum. Di situ terdapat sofa yang digunakan Laksamana Maeda untuk menyambut Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo, pada 16 Agustus 1945. Pada kesempatan tersebut, ketiganya menjelaskan kepada Maeda tentang pertemuan persiapan menjelang kemerdekaan Indonesia. Rumah Laksamana Maeda ini juga menjadi tempat Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo menyatakan akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, setelah menemui pemerintah militer Jepang yang mengatakan tak dapat membantu kemerdekaan Indonesia. 

Ruang tamu Laksamana Maeda bersebelahan langsung dengan ruang makan. Di ruang makan ini, terdapat satu meja makan panjang dengan kursi-kursi. Di meja inilah, Bung Karno mempersiapkan draf naskah proklamasi. Bung Hatta dan Achmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Setelah judul “Proklamasi” dipilih, ketiga tokoh tersebut menentukan kalimat pertama naskah proklamasi, yakni “Kami Bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Kemudian, Bung Hatta menambahkan kalimat kedua tentang pengalihan kekuasaan.

Perumusan Naskah Proklamasi di Diorama di Tempat Bersejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Setelah naskah proklamasi selesai, naskah dibawa ke serambi muka untuk dibacakan di hadapan para hadirin. Terdapat 29 tokoh yang hadir dalam perumusan naskah proklamasi ini. Beberapa di antaranya Ki Hadjar Dewantara, R. Otto Iskandar Dinata, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Adapun foto dari para tokoh yang hadir dan naskah proklamasi kemerdekaan terpampang di ruangan pengesahan naskah proklamasi museum. 

Bung Karno membacakan rumusan pernyataan kemerdekaan berulang-ulang dan bertanya persetujuan hadirin. Gemuruh suara hadirin menyatakan setuju, tanda naskah proklamasi telah disetujui. Setelah itu, Bung Karno meminta Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi tersebut. Pengetikan naskah proklamasi terjadi di ruang bawah dekat dapur, ditemani oleh B. M. Diah. Pada saat pengetikan, Sayuti Melik melakukan penyesuaian tiga kata seperti “tempoh” menjadi “tempo, “wakil-wakil Bangsa Indonesia” menjadi “Atas Nama Bangsa Indonesia”, dan penulisan hari, bulan serta tahun.

Mesin Ketik di Tempat Bersejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Setelah naskah selesai diketik, naskah dibawa ke ruang tamu besar Maeda dan ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Penandatanganan naskah proklamasi dilakukan di atas piano yang ada di bawah tangga rumah Laksamana Maeda. Hingga saat ini, mesin ketik dan piano tersebut masih ada dan menjadi salah satu koleksi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. 

Selain ruang praperumusan (ruang tamu Maeda), ruang perumusan (ruang makan), ruang pengetikan (ruang bawah dekat dapur), dan ruang pengesahan (ruang tamu besar), museum ini juga terdiri dari beberapa ruangan di lantai dua. Seperti ruang masa kedatangan Jepang, ruang masa proklamasi, ruang mempertahankan kemerdekaan, ruang kembali ke masa persatuan, serta ruang pengenalan tokoh. 

Tugu Proklamasi 

Setelah memahami proses perumusan naskah proklamasi, selanjutnya adalah proses proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Karena itu, tempat terakhir yang menjadi tujuanku adalah Tugu Proklamasi. Tugu yang berada di kawasan Taman Proklamasi ini dulunya adalah rumah Bung Karno yang menjadi tempat naskah proklamasi dibacakan. Atas prakarsa pemerintah Indonesia untuk melestarikan sejarah, Tugu Proklamasi didirikan di bekas kediaman Bung Karno mulai 1961 dan diresmikan pada 17 Agustus 1980, tepat 35 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Tugu Proklamasi di Tempat Bersejarah Taman Proklamasi

Ketika mengunjungi Tugu Proklamasi, aku cukup terpukau dengan desainnya yang sederhana, namun sarat makna. Tugu ini terdiri dari dua pilar yang melambangkan kedua tokoh proklamator, Soekarno dan Mohammad Hatta. Di tengah-tengah tugu, terdapat patung Soekarno dan Hatta yang sedang membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan. Dengan desain yang filosofis, dapat kupahami Tugu Proklamasi bukan sekadar monumen, tetapi juga sebagai pengingat semangat juang dan persatuan bangsa Indonesia. Pilar-pilar yang tegak berdiri melambangkan kekuatan serta keteguhan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Sementara itu, patung Soekarno dan Hatta menegaskan peran penting keduanya dalam sejarah perjuangan bangsa merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Itu tadi, kisah perjalananku mencari makna Hari Kemerdekaan lewat tiga tempat bersejarah di Jakarta: Gedung Joang ‘45, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan Tugu Proklamasi. Lewat perjalanan ketiga tempat ini, aku menyadari tiga makna kemerdekaan. 

Gedung Joang '45 melambangkan semangat juang dan keberanian pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan. Museum Perumusan Naskah Proklamasi menunjukkan proses intelektual dan diplomasi dalam menyusun deklarasi kemerdekaan. Tugu Proklamasi menjadi simbol deklarasi kemerdekaan itu sendiri, menandai kelahiran Indonesia sebagai negara berdaulat. Bersama-sama, ketiga tempat ini mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hasil dari perpaduan semangat juang, pemikiran mendalam, serta aksi nyata.

Smarticizen ingin menjelajahi tempat bersejarah di Jakarta? Kamu bisa gunakan fitur Peta di aplikasi JAKIuntuk cek titik lokasi museum dan wisata sejarah lainnya.

Aplikasi JAKI Edisi Hari Kemerdekaan ke-79 RI

Ikuti cara-cara berikut. 

  • Buka aplikasi JAKI. Jika belum terpasang di smartphone, unduh di Google Play Store atau Apple App Store;
  • Ketik “Peta” pada bilah pencarian di Beranda. Pilih Peta;
  • Pilih kategori Sejarah pada bagian Destinasi Wisata;
  • Zoom in peta untuk melihat lokasi tempat bersejarah yang ada di Jakarta;
Fitur Peta untuk Cari Titik Lokasi Tempat Bersejarah
  • Klik tempat bersejarah tersebut untuk mengetahui informasi seperti deskripsi, lokasi, dan kontak yang bisa dihubungi. 

Artikel Smart People Lainnya

Selamat Hari Kunjung Perpustakaan! Yuk, ikut jalan-jalan ke Perpustakaan Nasional RI. Ada apa saja yang menarik, ya?

Kendaraan yang parkir sembarangan bisa merugikan kita semua. Baca alasannya dan cari tahu cara melaporkannya, yuk!

Hati-hati dengan wabah Mpox cacar monyet! Cari tahu gejala, kelompok yang rentan tertular, hingga cara pencegahannya di sini.

Jangan panik, tetapi selalu waspada. Inilah yang perlu kamu ketahui tentang gempa bumi Megathrust di Indonesia.

Pekan Imunisasi Nasional Polio tahap kedua sudah dimulai. Baca pertanyaan mendasar tentang polio serta jawabannya di sini.

Hari Kemerdekaan ke-79 RI sudah di depan mata. Yuk, napak tilas ke tempat bersejarah di Jakarta agar bisa lebih memaknai kemerdekaan.