Kemeriahan Pembukaan Taman Ismail Marzuki
Tiupan saluang mendayu, disahut gesekan cello, riuh perkusi, serta denting piano. Saya penasaran naik ke balkon di lantai atas Graha Bhakti Budaya (GBB), yang menjadi tempat pilihan menonton di Taman Ismail Marzuki (TIM) dulu karena tiketnya lebih murah. Saya tenggelam dalam keasyikan mendengar gubahan Adra Karim, Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang dimbuhi gerakan seorang penari.
Dari leaflet Pembukaan Publik TIM pascarevitalisasi pada Jumat sore, 23 September 2022 lalu, saya baru tahu, gedung berlantai enam seluas 14.831 meter persegi dengan kapasitas 954 penonton ini berteknologi tinggi, seperti motorised flying bars system, high quality sound system, orchestra pit untuk 45 musisi, serta ceiling and wall panel accoustic system. Yang lebih nikmat, kedua mata saya tak terhalang lagi tembok depan, bagai dulu menonton sambil mendongak dari balkon. Untunglah GBB baru didesain untuk penonton dengan arah pandang optimal.
Tiba-tiba, di ujung komposisimusik tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan muncul dari balik panggung. Surprised, ia membacakan sebuah puisi Rendra, Rakyat Adalah Sumber Kedaulatan. “Rakyat adalah sumber kedaulatan/ Kekuasaan tanpa rakyat adalah benalu tanpa karisma/ Rakyat adalah bumi/ Politik dan kebudayaan adalah udara/ Bumi tanpa udara adalah bumi tanpa kehidupan/ Udara tanpa bumi adalah angkasa hampa belaka”. Begitu pembuka sajak Rendra itu.
Sebelum konser musik, Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company mementaskan tarian nan rancak bertajuk Legenda Burung Api dari Cikini. Koreografernya Rusdy Rukmarata, suami Aiko Senosoenoto, anggota Komite Tari DKJ. Lighting dan kostum menjadi kekuatan pembuka pertunjukan perdana di GBB TIM ini, selain tentu saja gerak tari kelompok yang didirikan sepasang suami istri tersebut pada 1996 silam.
Pulang
Sore itu saya merasa seperti pulang. TIM yang direvitalisasi sejak 2019 lalu bagaikan rumah kedua buat saya. Kenakalan masa remaja dulu, semisal bolos sekolah, saya lampiaskan di sini. Dari membaca buku puisi penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Agam Wispi, yang dilarang semasa Orde Baru di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H. B. Jassin; nonton film-film sutradara Jepang, Akira Kurosawa, atau sutradara Iran, Abbas Kiarostami, di Teater Tertutup yang kelelewar-kelelawar beterbangan melintasi layar; hingga menyaksikan Konser Rakyat Leo Kristi di Teater Terbuka yang rawan kuyup bila hujan.
Teater Terbuka dan Teater Tertutup kini sudah menjelma Teater Jakarta, yang terdiri Teater Kecil berkapasitas 242 penonton serta Teater Besar berkapasitas 1.200 penonton. Sementara, PDS H. B. Jassin bersanding dengan Perpustakaan Jakarta di gedung panjang bernama Gedung Ali Sadikin. Arsitek Andra Matin yang baru meraih penghargaan arsitektur kelas dunia, Aga Khan Award, berkat karyanya di Bandar Udara Banyuwangi, merancang gedung berlantai 14 ini berdasarkan tangga nada lagu Ismail Marzuki, Rayunan Pulau Kelapa. Di sini pula berada Galeri S. Sudjojono dan Galeri Emiria Soenassa, yang merupakan arena pameran karya seni rupa.
Pada Sabtu dua pekan lalu, bersama istri dan anak semata wayang, saya mampir ke Gedung Ali Sadikin. Menikmati lukisan para maestro yang kebanyakan sudah tiada, dari Nashar, Zaini, Oesman Effendi, sampai Danarto dengan lukisan Pembisik yang mengundang senyum: Gus Dur tertawa dibisiki sesosok malaikat.
Kami juga menengok PDS H. B. Jassin yang sedang memamerkan koleksinya untuk memperingati seabad penyair Angkatan 1945, Chairil Anwar. Sedangkan auditoriumnya ramai, karena tengah berlangsung workshop astrofotografi.
Yang lebih menarik perhatian saya ketika mengunjungi Perpustakaan Jakarta. Ramai sekali, dari anak-anak sampai orang tua. Karena sinyal di telepon seluler saya buruk, istri mendaftar lewat QR Code di pintu masuk. Biar tak seperti kami, Smarcitizen bisa mendaftar lewat super-app JAKI (tersedia di Google Play Store atau Apple App Store) bila hendak ke sini, dengan mengklik JakLitera di menu Ruang Ketiga. Setelah menitip barang di loker, kami menyaksikan bocah-bocah membaca buku sambil berbaring di perpustakaan. Anak-anak muda lebih banyak lagi, dengan buku di tangan atau laptop di hadapannya. Dari lantai 3 hingga 7, pemandangan yang menakjubkan ini terlihat, apalagi saat saya menaiki tangga-tangga bangunan berundak tersebut. Baru hari itu saya melihat begitu banyak orang membaca di negeri ini.
Lewat jendela saya memandang kubah putih Planetarium. Di bangunan penanda wajah TIM sejak dulu hingga sekarang ini, saya terpesona semasa mahasiswa kepada penyair Taufiq Ismail yang membacakanPuisi-puisi Langit, dengan taburan bintang-bintang di atas kepala yang ditembakkan proyektor. Planetarium hanya salah satu arena di Gedung Trisno Soemardjo yang berbentuk huruf U dan berlantai lima. Di sana berada Kineforum, tempat saya menonton film-film alternatif yang sebelumnya berlokasi di belakang bioskop XXI. Saya ingat, pernah menonton sendirian film Sjuman Djaya produksi 1973, Si Mamad. Di situ pula nama sutradara film itu diabadikan sebagai Teater Syuman Djaya, bersama Teater Asrul Sani dan Teater Wahyu Sihombing, legenda teater serta film Indonesia.
Oase
Selain empat gedung pertunjukan, enam galeri, serta enam tempat latihan seni, TIM wajah baru pun punya ruang terbuka hijau. Taman seluas 9.581 meter persegi yang langsung tampak saat kita memasuki gerbang TIM ini, seakan taman gantung di atas tempat parkir. Sungguh menyejukkan mata, setelah menghadapi kemacetan di Jalan Cikini Raya, di mana Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM berada.
Di belakang bekas kebun binatang pelukis modern pertama Indonesia, Raden Saleh, yang berubah menjadi PKJ TIM pada 10 November 1968 berkat jasa Gubernur Ali Sadikin ini, ada oase spiritual pula. Masjid Amir Hamzah yang berlantai kayu dan dikelilingi kolam ikan. Suasana khusyuk yang mengingatkan saya kepada puisi Padamu Jua — Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru yang dibunuh dalam revolusi sosial di Istana Langkat, Sumatra Utara, pada 1946. “Habis kikis/ Segala cintaku hilang terbang/ Pulang kembali aku padamu/ Seperti dahulu// Kaulah kandil kemerlap/ Pelita jendela di malam gelap/ Melambai pulang perlahan/ Sabar, setia selalu//”
Dari karya seni hingga ilmu pengetahuan, dari taman yang berhawa segar sampai masjid unik di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta. TIM yang lebih tua setahun daripada usia saya, senantiasa memanggil untuk jeda dari rutinitas kehidupan sehari-hari, sambil mengasah akal budi dan hati nurani. Kamu yang mau menikmati oase di tengah keriuhan ibu kota, dapat mampir ke TIM dengan menaiki kereta Commuter Line, lalu turun di Stasiun Cikini, dilanjutkan berjalan kaki di trotoar lebar Jalan Cikini Raya sekitar 15 menit. Smartcitizen juga bisa naik bus Transjakarta 5M (Kampung Melayu-Tanah Abang) dan 6H (Lebak Bulus-Senen), atau Mikrotrans AC/non-AC JAK 10A (Gondangdia-Cikini). Selamat menikmati wajah baru Taman Ismail Marzuki!